Statistik

Hit hari ini : 9
Total Hits : 1,855,177
Pengunjung Hari Ini : 9
Pengunjung Online : 1
Total pengunjung : 522,403

Flag Counter

Home Daya Tarik Wisata / Seni dan Budaya / Desa Wisata

Seni dan Budaya

<< First < Previous 1 2 3 ... 7 Next > Last >>

ANJAT DAN MANIK – MANIK


Anjat adalah tas yang terbuat dari anyaman rotan dan memiliki 2 atau 3 tali. Anjat digunakan untuk membawa barang-barang ketika bepergian. Anjat ini berukuran sedang sehingga tidak dapat memuat banyak barang. Anjat ini tidak memiliki penutup, tetapi memiliki tali yang bila ditarik akan menutup sehingga bagian atasnya akan mengerucut/menutup. Untuk ukuran yang lebih besar meskipun dibuat dengan bahan yang sama biasa disebut dengan keranjang. Keranjang memiliki diameter bawah sekitar 50cm dan diameter atas 70cm dengan tinggi sekitar 70cm dan tidak memiliki tutup pada bagian atasnya.


tas manik

Anyaman rotan lainnya adalah Lampit semacam tikar yang terbuat dari jalinan rotan dipasang sejajar, dan tikar-tikar lain dianyam dari rotan kasar, kulit pohon atan pandan. Orang Punan membuat tikar tidur dengan motif hitam-putih. Seraung dibuat dari daun-daun palas biru yang dihias dengan tempelan potongan kain persegi dan manik-manik atau sulaman.

Manik-manik bagi orang Dayak sebagia hiasan sejak zaman logam masuk ke Kalimantan. Manik-manik dari tulang, batu atau damar dari zaman purba banyak ditemukan pada situs-situs penggalian. Orang Dayak membedakan manik-manik besar dari kaca warna-warni dan manik-manik halus, yang biasanya dianyam pada benang. Manik-manik besar berbeda bentuk dan warnanya satu dan lainnya. Manik-manik ini bernilai tinggi dan disimpan sebagai benda pusaka, biasanya dijadikan kalung dan digunakan ketika upacara adat berlangsung. Pada orang Kenyah di Lung Anai, dikenal manik-manik yang dinamakan Lukuk Sakalak dan Bowang, lukuk sakalak merupakan manik-manik yang berbentuk bulat dan berwarna hijau berbintik dengan diameter sekitar 2,5-3cm. biasanya manik ini digunakan oleh Raja-Raja Kenyah.





ARSITEKTUR LAMIN DAYAK BENUAQ







Dalam bahasa Dayak
Benuaq, lamin berarti Lou, disebut rumah panjang karena ada yang mencapai
puluhan meter hingga ratusan meter panjangnya. Lamin dibuat berdasarkan
kebutuhan penghuninya. Semakin banyak penghuni lamin, maka akan semakin panjang
lamin itu dibuat. Lamin di Pondok Labu memiliki panjang sekitar 36 meter dan
lebar 10 meter. Lamin utama memiliki panjang sekitar 25 meter. Tinggi lantai
lamin dari permukaan tanah 2 meter, dengan jumlah kamar 6 kamar tidur.
Dilengkapi dengan 2 dapur dan 2 kamar mandi yang terletak dikiri kanan lamin.
Lamin ini bangunan asli yang dibangun orang Dayak untuk digunakan sebagai
tempat tinggal, tempat berkumpul, dan tempat melakukan aktifitas komunitasnya
(Haris Sukendar dkk, 2006:94-95).







Didepan lamin terdapat 8 tiang
belontakng yang merupakan tiang berukir yang dipergunakan sebagai tempat
mengikat hewan yang akan dipersembahkan dalam upacara adat, seperti kerbau.
Didepan lamin juga terdapat balai untuk meletakkan sesaji, tiang rumah untuk
menopang lamin ini ada 12 tiang, yang ditempatkan berjajar enam tiang dibagian
depan dan enam tiang dibelakang, yang terbuat dari kayu ulin dengan diameter
20cm. pada bagian atas tiang rumah yang terletak dibagian depan lamin
masing-masing terdapat 2 tanduk kerbau, yang merupakan kerbau persembahan
upacara adat. Dalam mitologinya kerbau terlahir dari perkawinan terlarang
antara Serupui Petah dan saudara kandung ayahnya. Oleh karena itu, kerbau
dikorbankan agar kestabilan alam dan lingkungan tetap terjaga dari pengaruh
buruk akibat perkawinan salah tersebut (Riwut, 2003:204).







Terdapat 3 tangga yang digunakan,
bagian tengah tangga utama (tukar dusutn)
terbuat dari papan kayu dengan 8 anak tangga, berukuran lebar 1meter dan jarak
20cm. 2 tangga lainnya berada di kiri kanan tangga utama, yang terbuat dari
kayu ulin utuh, yang dipahat membentuk anak tangga. Pada bagian kanan berjumlah
9 anak tangga dan bagian kiri berjumlah 10 anak tangga, bagian atas tangga ini
dibentuk seperti kepala manusia. Bagian depan lamin terdapat 3 pintu masuk dan
4 jendela. Pintu utama berhadapan dengan tangga utama, dengan ukuran tinggi 2m
dan lebar 90cm. Sedang 2 lainnya terletak dikanan kiri lamin yang berhadapan dengan
tangga yang lainnya, dengan ukuran yang lebih sempit, tinggi 2m dan lebar 80cm.
Ukuran keempat jendala sama besar yaitu tinggi 80cm dan lebar 60cm. Adanya
perubahan orientasi arah hadap hunian sehingga lamin tidak dibangun mengikuti
arah sungai.







ARSITEKTUR LAMIN DAYAK KENYAH


Lamin yang dibangun oleh masyarakat Dayak Kenyah tidak digunakan sebagai tempat tinggal melainkan untuk mengadakan upacara adat atau acara lainnya. Selain itu juga sebagai tempat penyimpanan barang-barang adat milik bersama. Rumah yang mereka tempati seperti rumah panggung, dengan tinggi dari permukaan tanah sekitar 30-50cm. Ukuran rumah biasanya sekitar 6x12m atau 5x10m. Terdapat 2 atau 3 kamar, dinding menggunakan kayu katan ludang. Tiang ruamh menggunakan kayu ulin, diameter sekitar 15-20cm. Atap rumah menggunakan kayu yang disebut sirap, atau daun-daunan. Kamar mandi dan dapur terletak dibelakang rumah.

Di Lekaq Kidau, lamin memiliki ukuran 15x9m dan berdiri dari permukaan tanah sekitar 1 meter dengan ditopang 4 tiang yang berdiri kokoh di tengah ruangan. Tiang tersebut diukir dan dihiasi dengan motif naga dan manusia dalam posisi berdiri dengan kedua tangan dipinggang. Dinding pembatas antara ruangan dihiasi dengan lukisan khas suku Dayak, berupa berbagai jenis hewan laut, burung Enggang, dan tumbuh-tumbuhan. Didominasi dengan warna putih, kuning, dan merah yang melambangkan kesuburan. Burung Enggang merupakan totem khas Dayak dan dianggap sebagai jenis burung yang dikeramatkan.

Selain menjadi tempat resmi kediaman ketua adat, juga berfungsi sebagai tempat berkumpul komunitas Dayak Kenyah. Di Desa Ritan Baru dan Tukung, Tabang, lamin dinamai Amin Bioq memililki bentuk cukup unik. Rumah adat ini lebih mirip sebuah “stadion” dimana pada bagian keempat sisi bangunan dibuat tempat duduk bertingkat-tingkat mengelilingi bagian tengah yang berupa lantai tanah. Tidak memiliki dinding dengan atap yang lebar dengan satu pintu masuk utama yang dihiasi oleh patung berornamen Dayak pada sisi kiri dan kanan pintu masuk. Rumah adat ini tidak dihuni, digunakan hanya sebagai tempat upacara dan berkumpulnya masyarakat Dayak Kenyah.





ASAL DAYAK BAHAU DI KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA



Dayak Bahau diduga sebagai pecahan Dayak Tunjung, yang lama kelamaan menjadi kelompok yang berbeda karena mengembakan budayanya sendiri. Dayak Bahau terdiri dari tiga subkelompok yakni Bahau Modang, Bahau Busang dan Bahau Saq. Ketiga subkelompok ini dibagi menjadi 14 kelompok yang lebih kecil lagi (Melalatoa, 1995:80). Masyarakat generasi tua, masih terlihat dengan ciri pemakaian tattoo dan telinga panjang. Tradisi ini masih dapat dilihat pada suku Dayak Kenyah, Bahau dan Kayan (Maunati, 2006:149)



Hanya sebagian kecil dari orang Bahau yang menetap di Muara Keba. Menurut legenda yang hidup dikalangan orang Bahau, nenek moyang mereka berasal dari Sungai Bram di Brunai. Karena ada peperangan dengan orang Iban, orang Bahau kemudian pindah menuju Sungai Kayan ata ke Apo Kayan dan sebagian ke Hulu Mahakam.



Dengan alas an untuk mencari kehidupan yang lebih baik, kemudian sebagian dari mereka pindah ke Long Merah, hingga sampai di Sungai Belayan Muara Keba pada tahun 1995. Menurut cerita, perjalanan yang mereka tempuh memakan waktu dua hari dua malam. Setiap rombongan yang bermigrasi, kurang lebih 40 orang. Perjalanan yang mereka tempuh, melalui hutan belantara dan sepanjang aliran sungai hingga tidak jarang anggota rombongan yang menderita sakit. Muara Keba juga dikenal mereka sebagai penghasil emas yang besar pada tahun 1960.



Kini mereka hidup berbaur dengan suku bangsa lainnya dan  mengembangkan kerukunan hidup yang baik, karena banyak dianatar mereka yang menikah antar budaya. Identitas Bahau tetap mereka pertahankan, bukan saja dalam bahasa, tetapi dalam melestarikan tradisi nenek moyangnya. Masuknya agama Nasrani (Katolik dan Protestan) dalam kehidupan orang Bahau, tidak serta merta menghapus jejak tradisi lama yang mereka dukung. Agama lokal Kaharingan, sekalipun tidak terus terang dilaksanakan, dalam kenyataannya tetap ada dalam kehidupan orang Bahau.



ASAL DAYAK BENUAQ DI KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA



Sampai saat ini belum ada data yang pasti tentang asal-usul orang dayak Benuaq, namun demikian dari mitos yang dituturkan oleh tokoh adat suku Benuaq dapat diperkirakan bahwa mereka merupakan penduduk asli Pulau Kalimantan. Semula mereka berasal dari suku Lawangan di Tiwai (Muara Teweh) Kalimantan Tengah, lalu secara bertahap mereka pindah dan mendiami wilayah sekitar Jempang antara lain Desa Tanjung Isuy, Tanjung Jan, Tanjung Zone, Perigi, Mancong Lembonah, Muara Ohong, Pentat, Muara Nayan dan Pulau Lanting (Bonoh, 1984/85).



dayak benuaq



Tahun 1966, mereka yang berada di Tanjung Isuy, Muara Nayan sekitar 20 kepala keluarga pindah untuk kedua kalinya ke daerah Pondok Labu. Tahun 1979, masyarakat Dayak Benuaq pindah ke Pondok Labu sebanyak empat kepala keluarga. Sekarang di Desa Pondok Labu terdapat 150 kepala keluarga Dayak Benuaq. Suku Dayak yang pindah dari Kalimantan Tengah ke Kalimantan Timur mengikuti alur sungai, sementara yang berasal dari ras Ot Danum menyusuri sungai Mahakam yang dikenal dengan suku Dayak Lawangan atau Lewangan atau Benuaq. Dari hulu sungai Mahakam menyebar ke daerah Sungai Ratah dan sebagian menetap didaerah Muara Ratah, sebagian lainnya munyusur hilir sungai sampai ke Muara Pahu, kemudian menyebar kearah pedalaman melalui sungai Kedang Pahu, didaerah ini masih banyak daerah tempat tinggal orang Dayak Benuaq, yaitu Tanjung Laong, Muara Pagar, Muara Baroh, Teluk Tempudau, Tanjung Loangan dan Tanjung Palang (Bonoh, 1984/1985:7).



Di Desa Perian, Kecamatan Muara Muntai ditemukan komunitas Dayak Benuaq, sebagian besar telah memeluk agama Islam meskipun ada komunitas yang masih melaksanakan upacara ritual leluhurnya. Terdapat juga komunitas Dayak Benuaq di Bongan, Kutai Barat dan Jahab, Pondok Labu, serta Sanggulan, Kutai Kartanegara. Alasan kepindahan suku Dayak Benuaq karena ketika itu terjadi penebangan hutan besar-besaran, ketika tiba di Pondok Labu pemimpin rombongan, Bapak Burhat, diangkat menjadi kepala adat. Tahun 1984, mereka bersama mendirikan lamin untuk tempat tinggal. Menurut Mollinckrodt yang dikutip Yohannes Bonoh, suku Dayak di Kalimantan timur adalah berasal dari Kalimantan Tengah. Dalam keterangannya, Mollinckrodt : bahwa suku Dayak Lawangan termasuk ras Ot Danum berasal dari Kalimantan Tengah, yaitu hulu Sungai Kahayan, Sungai Ruangan, Sungai Barito dan Sungai Kapuas.



Seorang ahli (Duman) mengatakan bahwa orang Benuaq merupakan salah satu sub suku bangsa Dayak Ot Danum yang memiliki tradisi dan bahasa sendiri. Orang Dayak Benuaq yang berada di Desa Pondok Labu tersebut, dikatakan masih mendukung kebudayaan atau tradisi asli mereka, ditandai adanya rumah panjang “lamin” yang ditinggali lebih dari satu keluarga. Lamin tadi, selain menjadi tempat tinggal, berfungsi juga sebagai pusat kegiatan adat, penyimpanan benda pusaka, bahkan menjadi pusat berkumpul kalangan masyarakat yang memerlukan konsultasi dengan tokoh adat Benuaq. Meskipun terpencar diberbagai wilayah, akan tetapi budaya dan bahasa yang mereka dukung tetap sama. Walaupun ada perbedaan, tidak lebih dari varian budaya dan pengaruh lingkungan mereka menetap. Dalam berbagai peristiwa adat mereka berkumpul dengan mendukung symbol-simbol budaya yang serupa.



ASAL DAYAK KENYAH DI KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA


Suku Dayak Kenyah termasuk dalam enam rumpun Dayak Kenyah-Kayan-Bahau atau termasuk dalam rumpun Dayak Apo Kayan dalam tujuh rumpun besar menurut klasifikasi Tjilik Riwut. Awalnya Suku Dayak Kenyah menetap di Apo Kayan, wilayah yang identic dengan tanah yang paling tinggi di Kalimantan Timur, paling Timur, yang berbatasan dengan Serawak Malaysia. Sehingga persebarannya ada yang menetap di Serawak. Dengan alas an ingin hidup maju dan pendidikan berkembang, sebagian orang Kenyah memutuskan meninggalkan Apo Kayan dan mencari wilayah baru. Tahun 1970, rombongan dengan anggota kurang lebih 250 orang bergerak melalui Muara Ancalong (Kutai Timur) dan tiba di Gemar Lama tahun 1972. Belum puas didaerah tersebut, mereka meneruskan perjalanan ke berbagai tempat, melalui Sungai Atan sebagian dari mereka tiba di Lung Anai, daerah dataran tinggi di Kecamatan Loa Kulu Kabupaten Kutai Kartanegara, sebagian dari meraka adapula yang menyebar ke Desa Ritan Baru dan Muara Belinau, Kecamatan Tabang. Ketika sampai ditempat baru, pimpinan rombongan diangkat menjadi kepala adat, dan berhak mengatur segala sesuatu, baik tata kampong, hokum, adat, serta ketentuan dan kewajiban warga di desa baru tersebut.



Orang Dayak Kenyah yang menetap di Lung Anai dan Ritan Baru, mempunyai ikatan kekerabatan dengan saudara-saudaranya ditempat lain. Pertemuan tiap tahun mereka adakan untuk mempererat hubungan antar warga Dayak Kenyah diseluruh Kalimantan Timur, dalam bahasa Kenyah pertemuan itu disebut Pekeno Tawai. Acara yang mempertemukan seluruh warga dari Suku Dayak Kenyah, selain ajang temu kangen, juga sebagai arena untuk membahas berbagai permasalahan suku, konservasi kehidupan adat, membahasa hokum adat (undang-undang adat), aturan/tatakrama untuk hidup damai dengan anggota masyarakat lainnya. Juga diadakan lomba ketangkasan macam-macam permainan tradisional dan olahraga.



Untuk mempermudah hubungan/komunikasi, Suku Dayak Kenyah membagi diri dalam empat kelompok besar berdasarkan tempat tinggal mereka, misalnya kelompok Dayak Kenyah di Lung Anai disebut sebagai Persatuan Dayak Kenyah Lepo Jalan. Demikian juga ada yang disebut Uma Kulit, Upa Tow, dan Lepo Bem sesuai dengan  tempat tinggal mereka.


ASAL DAYAK MODANG DI KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA



Masyarakat suku Dayak Modang tinggal di Desa Long Bleh, Kecamatan Kembang Janggut merupakan desa tertua yang ada di wilayah Belayan. Kemudian desa ini mengalami pemekaran dan saat ini diwilayah Belayan terdapat tiga desa tempat komunitas Dayak Modang. Menurut peraturan kepala adat yang disampaikan oleh orang tuanya, Desa Long Bleh terbentuk pada tahun 1945 bertepatan dengan berkibarnya bendera Merah Putih yang pertama kalinya.



Kini tiang bendera tersebut masih berdiri utuh dan mngingatkan mereka pada saat penting yakni Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Asal-usul orang Modang sendiri konon dari Sungai Kejun Besar di daerah Apo Kayan. Sebelum 1945, secara berkelompok orang Modang pindah dengan berjalan kaki menyusuri Sungai Mahakam dari hulu. Pertama, mereka sampai didaerah Sebrang Long Bleh, dan kemudian tahap demi tahap membuka daerah baru ditempat yang kini menjadi hunian orang Modang yakni Long Bleh (Modang). Pemukiman ini dibedakan menjadi dua, pertama mereka yang menetap di Desa Long Bleh Modang, dan kedua mereka yang menetap di Long Bleh Malih.



Perpindahan mereka dari hulu Mahakam hingga ke pemukiman sekarang tidak berbeda dengan orang Dayak lainnya, yaitu ingin merubah hidup menjadi lebih baik. Sekalipun tanah di hulu Mahakam cukup subur, akan tetapi mereka sulit memperoleh bahan pokok hidup lainnya. Pendidikan juga menjadi salah satu alasan kepindahan mereka. Kini di tempat yang baru, mereka bisa mengembangkan kehidupan dengan berbagai sarana yang bisa dimanfaatkan.



ASAL DAYAK PUNAN DI KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA



Awalnya orang Punan dikenal sebagai salah satu suku bangsa Dayak di Kalimantan Timur yang sangat nomadic, artinya bukan tata caranya berladang saja yang selalu berpindah-pindah, tetapi tempat tinggalnya juga. Dengan demikian, ada kesulitan untuk mendapatkan data dan informasi tentang kehidupan mereka, termasuk menetapkan wilayah administrative dimana mereka tinggal. Secara umum, mereka mempunyai ciri bahwa mereka tidak menanam padi, tidak makan nasi, hanya hidup dari hasil buruannya, serta hasil ramuan buah-buahan atau tanaman tertentu yang bias dimakan. Konon, merekapun sangat sulit didekati. Beruntung, bahwa penelitian ini telah menemukan komunitas orang Punan yang berdomisili di Desa Muara Belinau, Kecamatan Tabang.



PEMUKIMAN DAYAK PUNAN



Dari waktu ke waktu, ciri tersebut sudah memudar seiring waktu, mereka hidup sebagaimana manusia lainnya, makan nasi, bahkan hidup membaur dengan komunitas yang ada. Menurut kepala desanya, mereka sudah berada didesa tersebut pada tahun 1978, yakni ketika Departemen Sosial melalui Dinas Sosial Kabupaten Kutai Kartanegara melakukan pencatatan dan memukimkan orang-orang Dayak yang masih tinggal dihutan pada sebuah areal pemukiman khusus.



Orang Punan yang kini menempati Desa Muara Belinau masing-masing berasal dari lima wilayah, yakni Muara Tubok, Muara Keba, Muara Salung, Muara Tik dan Muara Belinau. Kelima wilayah itu berada di Sungai Telen yang bermuara di Sungai Belayan. Pemukiman pertama ada di Muara Sungai Atan, kemudian pindah ke Muara Belinau disekitar Sungai Lunuk. Awalnya ketika orang Kutai banyak yang bekerja di hutan untuk mengambil kayu, damar, rotan dan sebagainya. Untuk menjaga keselamatan dihutan, mereka mengangkat orang Punan sebagai orang tua angkat. Ketika itu juga terjadi saling tukar menukar barang yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari.



Melihat dan menyadari kehidupan orang Punan yang sulit, bahkan kekurangan, pemerintah kecamatan memikirkan nasib anak-anak Punan yang menderita sakit. Mereka yang sakit dibawa ke daerah Sungai Lunuk, Tabang untuk mendapatkan pengobatan. Setelah sembuh, banyak diantara mereka yang tidak kembali ke hutan dan menetap di Sungai Lunuk. Para orang tua yang anaknya berada di Sungai Lunuk merasa rindu dan ingin bertemu dengan anaknya, kemudian berkunjung dan akhirnya menetap juga di Sungai Lunuk. Perpindahan tersebut berlangsung selama 2 bulan, dan kepala adat pertama diangkatlah Bapak Jahang (almarhum).



ASAL DAYAK TUNJUNG DI KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA



Hingga saat ini belum ada data akurat tentang asal-usul Orang Dayak Tunjung di Kalimantan Timur. Sebagian para ahli, mengatakan mereka adalah penduduk asli yang menetap disekitar Danau Jempang. Akan tetapi, tokoh adat yang tinggal di Desa Nangka Tujuh, Kecamatan Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kartanegara bercerita tentang darimana mereka berasal. Konon nenek moyang orang Tunjung mendiami sebuah wilayah di Kecamatan Bigung Kabupaten Kutai Barat. Karena komunitas mereka semakin bertambah, diputuskan untuk mencari daerah baru agar hidup merek aberkembang dan semakin maju. Terbagi dalam beberapa golongan dan menyebar ke berbagai arah. Sebagian ada menuju wilayah Kalimantan Timur dan singgah di Enggelam (sekarang Gelam), sebuah daerah disekitar Danau Melintang dan Danau Semayang. Dari Enggelam, mereka melanjutkan perjalanan ke berbagai daerah seperti Belayan, Rajak, Rimba Ayu dan Nangka Tujuh hingga sekarang. Di Desa Nangka Tujuh orang Tunjung membangun pemukiman tersendiri, dan mengembangkan tradisi yang diwarisinya dari leluhur mereka.



Masyarakat Dayak Tunjung yang menetap di Desa Teluk Bingkai umumnya merupakan kelompok masyarakat Dayak yang datang dari daerah ulu (sekitar Danau Jempang) secara berkelompok. Ketika sampai di Teluk Bingkai maka secara otomatis pemimpin rombongan diangkat menjadi pimpinan mereka dalam satu desa yang disebut sebagai benua. Pemimpin adat bergelar Merhajaq dan semua sanak keluarganya disebut Hajaq yang berarti golongan bangsawan. Kepala adat dibantu oleh Pengkawaq yang memiliki bawahan yang disebut Mantiq Tatau, yang mempunyai tugas berhubungan langsung dengan orang kebanyakan.



Selain itu dalam organisasi social mereka mengenal pula pemasuk yang jabatannya sebagai panglima perang dan pemencarak yang bertugas mengelola adat. Dalam susunan formal pemerintahan tetap dipegang oleh kepala desa namun jika terkait dengan adat kepala desa akan selalu berkomunikasi dengan kepala adat dan tokoh masyarakat.



ASAL MASYARAKAT DAYAK DI KALIMANTAN



Dayak atau Daya adalah suku-suku asli yang mendiami Pulau Kalimantan, yang memiliki budaya terrestrial (daratan, bukan budaya maritim). Sebutan ini adalah sebutan umum karena orang Daya terdiri dari beragam budaya dan bahasa. Dalam arti sempit, Dayak hanya mengacu pada suku Ngaju (rumpun Ot Danum) di Kalimantan Tengah, sedangkan arti yang luas suku Dayak terdiri atas 6 rumpun suku. Suku Bukit di Kalimantan Selatan dan Rumpun Iban diperkirakan suku Dayak yang menyebrang dari Sumatra. Sedangkan suku Maloh di Kalimantan Barat diperkirakan suku Dayak yang datang dari Sulawesi.



Ada banyak pendapat tentang asal-usul orang Dayak, tetapi sejauh ini belum ada yang memuaskan. Banyak yang berpendapat bahwa orang Dayak sebagai salah satu kelompok suku asli terbesar dan tertua yang mendiami pulau Kalimantan, menurut teori migrasi penduduk ke Kalimantan. Bertolak dari pendapat itu, diduga nenek moyang orang Dayak berasal dari gelombang migrasi yang terjadi pada 1 juta tahun yang lalu, yang tepatnya pada periode Interglasial-Pleistosen. Kelompok ini terdiri dari ras Australoid (ras manusia prehistoris yang berasal dari Afrika). Pada zaman Preneolitikum, kurang lebih 40.000-20.000 tahun lampau, datang lagi kelompok semi nomaden (tergolong manusia modern, Homo sapiens ras Mongoloid).



Penggalian arkeologis di Niah-Serawak, Madai dan Baturong-Sabah membuktikan bahwa kelompok ini sudah menggunakan alat-alat dari batu dan mengenal teknologi api, hidup berburu dan mengumpulkan hasil hutan dari satu tempat ke tempat lain. Kelompok ketiga datang sekitar 5.000 tahun silam, berasal dari daratan Asia dan tergolong ras Mongoloid juga. Kelompok ini sudah hidup dalam satu komunitas rumah komunal (rumah panjang) dan mengenal berladang. Gelombang migrasi terus berlanjut hingga abad 20. Menurut Prof. Lambut dari Universitas Lambung Mangkurat, secara rasial manusia Dayak dapat dikelompokkan menjadi: Dayak Mongoloid, Dayak Malayunoid, Dayak Austrolo-Melanosoid, dan Dayak Heteronoid. Teori tersebut sekaligus menjelaskan bahwa orang Dayak memiliki begitu banyak varian bahasa dan budaya. Pada migrasi gelombang pertama beberapa ahli menyebut Proto-Melayu, kelompok Negroid dan Wedid. Gelombang kedua, da;lam jumlah yang besar disebut Deutero-Melayu, yang menghuni wilayah pantai Kalimantan dan disebut suku Melayu. Proto-Melayu dan Deutero-Melayu berasal dari negeri yang sama.








BAHASA MASYARAKAT DAYAK


Awal mula bahasa Dayak dari bahasa Austronesia yang masuk melalui bagian utara Kalimantan kemudian menyebar kea rah timur hingga masuk ke pedalaman, serta pulau-pulau di Pasifik dan Selandia Baru. Sampai saat ini, bahasa Dayak berkembang seiring beragam pengaruh. Kedatangan bangsa-bangsa ini membawa pengaruh dan kebudayaan yang beragam. Biasanya penduduk suatu wilayah dibedakan antara “pribumi sejati” yaitu orang Dayak yang memiliki animism dan orang Melayu yang Muslim, serta penetap Cina dan India yang datang kemudian. Ciri-ciri budaya, bahasa dan agama menyebar tanpa mengindahkan asal suku dan melanggar batas kebudayaan serta bahasa yang tadinya ada.

Beberapa sumber mengatakan bahwa bahasa di Kalimantan termasuk dari rumpun bahasa Austronesia. Namun para ahli membedakan bahasa yang di pakai di Sabah dan Filipina, bahasa Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Melayu. Selain pengaruh bahasa dari luar, bahasa dan dialek juga dipengaruhi letak geografis yang ditumbuhi hutan hujan trofis. Pada umumnya orang Dayak di Kalimantan Timur sudah dapat berbahasa Indonesia, terutama kaum muda, karena mereka sudah cukup lama berinteraksi dengan masyarakat lainnya dan juga mereka harus bisa berkomunikasi dengan suku Dayak lainnya yang memiliki perbedaan bahasa. Bahasa perantara orang Dayak adalah bahasa Ot Danum atau Dohoi. Sedangkan bahasa tertua adalah Sangen atau Sangiang yang dipakai dalam upacara adat. Pada saat ini, hanya sedikit orang Dayak yang mengetahui bahasa Sangiang ini.

Orang Dayak di Kalimantan, terutama Kabupaten Kutai Kartanegara, memilki bahasa dan dialek masing-masing, seperti Dayak Kenyah dan Dayak Kayan memiliki bahasa yang berbeda yang disebut bahasa Kayan-Kenyah. Dayak Bahau memiliki 2 dialek, Bahau Sa’ dan Bahau Busang. Dayak Modang juga menggunakan bahasa Bahau. Dayak Benuaq dan Dayak Ngaju memiliki bahasa yang sama yaitu bahasa otrang Ma’anyan. Dayak Punan yang memiliki 24 sub suku Punan, masing-masing memiliki bahasa dan dialek sendiri. Beberapa sub suku menggunakan bahasa Punan dan Busang, ada juga bahasa Bekatan dan Lisum yang digunakan. Dayak Tunjung memiliki bahasa sendiri yaitu bahasa Tunjung, ada 4 dialek yang mereka gunakan. Mereka juga menggunakan bahasa Kutai, mereka juga mengerti bahasa Benuaq.




BAJU CINA


Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura memiliki kekayaan budaya, yang di antaranya pakaian adat Baju Cina.






Baju Cina adalah baju yang di pakai sehari - hari di kalangan orang biasa maupun di kalangan Bangsawan Kutai Kartanegara pada waktu dulu.



Baju Cina berfungsi sebagai baju dalam kegiatan adat biasanya di pakai pada waktu menghadiri Upacara adat mandi - mandi atau ngulur naga pada waktu Erau. Baju Cina ini terlihat sederhana sekali tanpa aksesoris, tetapi memiliki keunikan tersendiri dengan lengan baju yang turun kebawah persis baju - baju yang di pakai di kalangan orang Cina.



Sedangkan untuk perempuannya memakai sanggul Kutai dan Tajok berupa bunga mawar, serta bawahan memakai ampik caul, dan untuk lelaki memakai hiasan kepala menyerupai topi yang terbuat dari sehelai kain yang di namakan sesapu, untuk bawahannya memakai celana panjang terbuat dari kain batik dan tajong yang di lingkarkan di pinggang yang di sebut singkik. 


BAJU KUSTIM


Kesultanan Kutai kartanegara Ing Martadipura memiliki baju - baju adat untuk acara Pernikahan, salah satunya ialah Baju Kustim.






Baju Kustim atau yang lebih di kenal dengan nama kutai Hitam merupakan salah satu baju kebesaran pengantin Kutai Kartanegara yang mana dapat di bedakan fungsi dan kegiatan acaranya. Baju kustim juga biasanya di pakai dalam upacara adat lainnya.



Baju Kustim ini memiliki riasan kepala dengan sanggul yang bernama Tali Kuantan dan memakai satu kembang goyang serta untaian melati yang melilit Sanggul Tali Kuantan untuk riasan pengantin wanitanya. 



Sedangkan Prianya memakai Topi berbulu yang di sebut Setorong, sementara aksesorisnya hanya memakai kalung panjang dan bros, serta engkalong naga dua. Dan dalam upacara bepacar meliki perbedaan yaitu Pengantin wanitanya memakai mahkota yang di sebut Sekar Suhun dan bagian mukanya di tutup oleh cadar. 


BAJU KUTAI SETENGAH


Dalam acara adat perkawinan memiliki acara khusus naik mintuha, dalam acara ini pengantin mengenakan Baju Kutai Setengah.






Baju kutai Setengah atau di sebut juga Tenu Kutai Setengah adalah baju pengantin kebesaran Kutai Kartanegara juga, tetapi di pakai dalam acara khusus Naik Mintuha .



Di dalam adat perkawinan Kutai Kartanegara di kenal juga istilah naik Mintuha yang mana kedua pengantin mendatangi rumah orang tua pengantin pihak laki - laki yang di temani orang tua pengantin pihak wanita.



Kedatangan kedua mempelai beserta rombongannya disambut dengan ritual adat naik mintuha, yang mana semua di tandai mengharap restu kedua orang tua dan ridho Allah SWT sehingga menjadi rumah tangga yang sakinah, mawadah, warohmah.



Baju Kutai Setengah ini memakai riasan kepala dari Baju Antakusuma tetapi memakai busana dari Kustim atau Kutai Hitam dan untuk bawahannya memakai Tapeh Alang, tetapi tidak memakai Tapeh Pasak.



 


BAJU MISKAT


Pakaian daerah kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura yang sudah menjadi seragam PNS di tenggarong saat bekerja di kantor setiap hari kamis, setelah mendapatkan ijin dari sultan Kutai Kartanegara.






Baju Miskat sama halnya dengan Baju Cina, di gunakan sebagai baju biasa sehari - hari, dan sebaimana fungsinya di pakai untuk upacara adat khusus dan dalam perkembangannya sekarang ini baju miskat di jadikan baju dinas Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, yang khusus di pakai pada hari kamis.



Baju Miskat ini memiliki keunikan tersendiri di samping baju adat kutai lainnya, dengan bentuk design mirip baju dari Korea. Ini menunjukkan bahwa perkembangan budaya pada zaman dahulu sangatlah besar.



Semua itu menandakan kejayaan Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura pada zaman dahulu dengan bercampurnya dua budaya yang berbeda.